Barat Merasa Terancam Oleh Kebangkitan Asia
Dan yang ini adalah kapal induk Indonesia di masa depan.
Percayalah, PT PAL akan mampu membuat kapal induk
seperti ini kelak, setelah proyek IFX selesai.
|
Pada Hari Selasa, 7 Mei 2013, Harian Republika menurunkan tulisannya berjudul : "NATO : Eropa Terancam Hanya Jadi 'Penonton'. Lengkapnya adalah sebagi berikut :
NATO: Eropa Terancam Hanya Jadi 'Penonton'
"Negara Eropa harus memahami kekuatan lunak saja benar-benar berarti tak ada kekuatan sama sekali. Tanpa kemampuan keras untuk mendukung diplomasinya, Eropa akan kekurangan kepercayaan dan pengaruh," kata Rasmussen saat berpidato di Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Eropa.
"Eropa akan menghadapi resiko menjadi penonton global dan bukan aktor global tangguh yang dapat dan mesti dicapainya," kata Rasmussen.
Pemimpin NATO itu menyatakan peran global Eropa tak terelakkan akan menderita akibat kemerosotan yang berlanjut dalam pengeluaran pertahanan Eropa. Eropa akan tak bisa ikut dalam penanganan krisis.
"Satu-satunya cara menghindarinya ialah mempertahankan jalur pengeluaran pertahanan,'' katanya. ''Hentikan pemotongan. Mulai lah menanam kembali di bidang keamanan segera setelah ekonomi kalian pulih."
Dari tulisan di atas terlihat sekali bahwa Barat (Eropa Barat & AS) tengah gundah. Mereka memandang bahwa kebangkitan beberapa negara di Asia seperti China, India, Iran, dan lain-lain termasuk Indonesia merupakan ancaman serius terhadap dominasi dan monopoli mereka atas dunia.
Keresahan mereka merefleksikan cara pandang dirinya terhadap benua lain, termasuk Asia. Anggapan bahwa kebangkitan Ekonomi Asia merupakan ancaman adalah kecemasan dari sekelompok negara yang selamanya ingin memonopoli dunia, menguasai dunia, mengendalikan dunia di bawah telapak kakinya. Ini terlihat dari ucapan Rasmussen, Sekjend NATO : "Negara Eropa harus memahami kekuatan lunak saja benar-benar berarti tak ada kekuatan sama sekali. Tanpa kemampuan keras untuk mendukung diplomasinya, Eropa akan kekurangan kepercayaan dan pengaruh," katanya saat berpidato di Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Eropa.
Jelas bahwa di pikiran para pemimpin NATO, kekuatan militer adalah kekuatan terpenting pengendali diplomasi, dan ini berarti mereka tidak sepenuhnya percaya pada diplomasi itu sendiri tanpa 'ancaman-ancaman' kapal induk, tank-tank tempur, gertakan-gertakan mengancam, dan rudal-rudal pembunuh. Pada hakekatnya, mereka tidak pernah benar-benar percaya pada dialog. Maka, bisa dipahami mengapa mereka mengirimkan tank-tank tempur untuk memaksakan demokrasi, membunuhi rakyat negara-negara lemah dengan pengerahan pesawat-pesawat tempur untuk menggulingkan pemerintahan negara lain, atau sebaliknya, membantu menumpas kelompok oposisi pemerintahan yang loyal pada mereka. Mali diserang Perancis, Irak dibom AS dan Inggris, Afganistan diserang NATO, Iran diancam akan diserang, dan lain-lain. Tak ada serangan militer tanpa jatuh korban jiwa.
Itulah tabiat Barat : agresif dan mau menang sendiri. Sejarah membuktikan itu.
Jika suatu negara memiliki karakter menindas seperti itu, maka bisa dipahami mengapa mereka harus menjadi penguasa di dunia atau harus menjadi dominan atas segala hal : ekonomi, politik, dan bahkan kekuasaan serta budaya. Bisa dipahami pula mengapa mereka merasa tidak tenang manakala ada negara lain, yang dipersepsikan bukan sekutu dekat, menjadi kuat dan sejahtera secara ekonomi. Sudah pasti negara 'jahat' akan selamanya merasa terancam oleh negara yang 'dijahatinya' manakala negara-negara itu (terjajah) tumbuh menjadi lebih kuat dari penjajahnya.
Dinamika psikologi ini sangat mudah dipahami. Inggris dan NATO merasa terancam karena merekalah yang pernah menyerang dan menjajah Cina, India, Timur Tengah, Indonesia, dan lain-lain. Ingat, hampir 90 % negara di dunia ini pernah merasakan jajahan dan penindasan oleh orang-orang kulit putih Eropa (Barat).
Asia sudah kenyang dengan kekerasan dan penindasan di bawah telapak kaki penjajahan Barat. Tak ada penjajah yang tidak memaksakan kehendak. Tak ada penjajah tanpa perampokan kekayaan alam dari negara-negara terjajah.
Cina pernah mengalami penjajahan oleh Inggris, India juga demikian. Vietnam dan Philipina pernah dijajah oleh AS, sementara Indonesia dijajah oleh Belanda. Malaysia dijajah oleh Inggris, demikian pula dengan Singapura dan Hongkong. Sementara Argentina, Brazil, dan lain-lain negara-negara di Amerika latin dijajah oleh Spanyol.
AS sendiri didirikan oleh Inggris dengan merampas tanah-tanah orang Indian, membunuhi mereka, dan menyita tanah-tanah mereka. Australia juga sama, negara ini didirikan dengan menyerang orang-orang Aborigin, menindas mereka, memperbudak penduduk aslinya, dan menyita tanah-tanah mereka.
Jika saat ini Cina, India, Brazil, Rusia, Afrka Selatan, dan Indonesia sedang bangkit, lalu Eropa merasa terancam oleh kebangkitan mereka, maka mudah pula dimengerti mengapa Eropa merasa begitu was-was. Mereka mengira, Asia juga sama wataknya sama Eropa. Jika Cina kuat dan mendominasi dunia, demikian anggapan mereka, maka Eropa-lah yang giliran akan dimusuhi dan diserang.
AS dan Eropa Barat tidak akan mudah mempercayai negara lain di luar sekutu mereka sebagai negara yang 'baik'. Mengapa ? Karena mereka juga tidak mampu mempercayai diri mereka sendiri sebagai sekumpulan negara yang 'baik'. Itulah persoalannya.
Karakter penjajah masih belum hilang hingga kini. Dalam organisasi perdagangan dunia, WTO- pun, negara-negara maju selalu berupaya menjadikan lembaga itu sebagai pengawas dan pusat pengaduan atas sikap protektif negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka dengan berbagai cara, ingin mendikte IMF, World Bank, PBB, dan bahkan WTO agar memenuhi keinginan AS, Eropa Barat, dan lain-lain negara maju.
Ketika porsi kepemilikan saham Bank Dunia yang selama ini dimiliki AS dan sekutunya diusulkan untuk diubah aturannya, mereka menolak. Sekali lagi, Barat ingin terus bisa mengendalikan lembaga multilateral termasuk keuangan sebagai sarana untuk menjajah negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India.
Mereka selalu ingin menang sendiri, merasa paling benar sendiri, dan di bawah telapak kaki mereka, Barat masih juga berkhayal bahwa dunia akan 'aman'. Tentu saja, 'aman' dalam pandangan negara-negara Barat tidak selalu 'aman' bagi negara-negara lain. Bagi dunia Islam, Barat adalah agresor dan teroris terbesar. Bagi Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Barat juga menyisakan dosa-dosa hitam masa lalu berupa penjajahan (yang berarti juga perampokan kekayaan alam, perbudakan, penindasan, dan pembantai terbesar) yang sekarang tiba-tiba merasa sok suci sebagai 'pendekar' HAM dan demokrasi. Mereka juga tidak pernah menyatakan penyesalan dan permintaan maaf atas kebrutalan mereka di masa lalu. Bahkan hingga sekarang.
Namun faktanya, justru negara-negara barat-lah yang banyak melanggar HAM dengan pembantaian yang mereka lakukan di Pakistan, Afganistan, dan lain-lain tempat di dunia termasuk tempat penyksaan mengerikan di Guantnanmo. Barat juga negara paling tidak demokratis di dunia dengan mempertahankan monopoli suara mereka di DK PBB, anti demokrasi dengan menentang resutrukturisasi organisasi PBB dengan hak eksklusif 'veto right' yang dikuasai oleh segelintir negara saja dengan Eropa sebagai pemegang Veto terbesar. Benua Amerika Latin dan Afrika sama sekali tidak punya hak sepadan untuk memperjuangkan nasib mereka di DK PBB karena ketiadaan wakil mereka yang memiliki hak serupa.
Kebangkitan Asia diharapkan menjadi penyeimbang atas arogansi Barat yang cenderung semena-mena. Yang kuat berangsur-angsur akan melemah, dan kemudian digantikan oleh pihak lain. Jika kekuatan AS dan Eropa Barat memudar, maka BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan South Africa) / bisa jadi menjadi BRIICS (Brazil, Rusia, India, Indonesia, Cina, dan South Africa) diharapkan akan muncul menjadi kekuatan baru di dunia, sehingga dunia menjadi lebih aman dan adil. Adil bagi Asia, Amerika Latin, Amerika Selatan, Afrika, dan seluruh dunia tanpa kecuali.
bener juga tuh tapi gak semua negara eropa jahat kalau amerika sih udah pasti orang sering propaganda
ReplyDelete