Pages

Saturday, April 20, 2013

Kejayaan Industri Pesawat Terbang RI : Apa yang Harus Kita Lakukan ?

Pesawat  N 219 adalah nyawa PT DI berikutnya dan juga industri pesawat nasional. Pesawat ini sangat dibutuhkan oleh
pasar nasional dan asia pasifik, dan juga oleh PT DI sendiri untuk melatih insinyur-insinyur muda untuk menggantikan
para insinyur yang akan pensiun. Pesawat ini paling murah, namun kuat dan moderen. N 219 mampu menjangkau daerah daerah sulit, pulau-pulau kecil tanpa landasan pacu. 

Pesawat N 219 bukan lisensi, melainkan 100% buatan dalam negeri. Pesawat ini berpenumpang 19 orang, mampu menjangkau daerah-daerah sulit dan terpencil tanpa landasan pacu. Cocok untuk Indonesia yang terdiri dari 17.000 lebih pulau. Keberhasilan proyek N 219 sangat vital bagi keberlangsungan PT DI dan juga industri pesawat terbang nasional. PT DI memprogramkan N 219 bukan semata-mata penting sesuai pasar, melainkan juga untuk memberi pengalaman pada insinyur-insinyur muda yang baru, belajar dan mengalami proses satu siklus mulai dari mulai konsep hingga pesawat bisa terbang, yang nantinya akan menggantikan seniornya yang sudah mendekati pensiun. Jika N 219 gagal, maka Indonesia akan kehilangan generasi yang berpengalaman dan ahli dalam bidang pembuatan pesawat terbang. Itu artinya, kita mundur lagi ke tahun 60-an, saat tak satu orang pun Indonesia mampu mewujudkan mimpi ini.

Kejayaan Industri Pesawat Terbang
RI : Apa yang Harus Kita Lakukan ?
Pesawat N 219 adalh prototipe yang 100 % karya anak bangsa.  Eksplorasi
teknologi sistem  peswat paling moderen. 
Hari sudah tengah malam. 10 Agustus 1995. Larut malam begitu, sudah banyak orang terlelap. Tapi laki-laki ini baru bergegas. Dia menyalakan mobil di garasi. Lalu menginjak pedal gas. Sendirian dari Bandung melaju ke Jakarta. Meliuk melewati bukit dan lembah. Saat itu Padalarang belum bersambung.

Rakhendi Priyatna, begitu nama pria ini, harus cepat sampai di Jakarta. Subuh hari, dia harus menyambut 40 wartawan di Halim Perdanakusumah.  Dan banyak wartawan dari manca negara. Hari itu, kawasan Halim memang membetot mata Indonesia, bahkan Asia.


Dan itu karena Gatotkaca. Sebuah pesawat N250 buatan Indonesia yang namanya dicuplik dari tokoh pewayangan yang dicintai banyak orang itu. Hari itu, si Gatotkaca ini terbang perdana. Dan acara ini lebih dari sekedar menerbangkan pesawat, tapi juga tanda kedigdayaan ekonomi Indonesia. Di udara kita jaya. 


Rakhendi berkisah. Pukul 8 pagi, menjelang lepas landas, semua orang gelisah. Terutama mereka yang bekerja keras di balik layar Gatotkaca. Para insinyur PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang menciptakan pesawat ini. Jika gagal seribu malu dipikul bangsa.

"Rasanya bercampur aduk. Panas dingin. Semua orang khawatir pesawat itu gagal terbang atau trouble di udara,” kisah Rakhendi kepada VIVAnews. Apalagi Presiden Soeharto dan para petinggi bangsa sudah berdiri gagah di panggung kehormatan. Kamera para wartawan asing sudah membidik.

Tepuk tangan bergemuruh.  Erwin Danuwinata, pilot penguji N250 Gatotkaca berkapasitas 70 penumpang itu sukses mendaratkan pesawat dengan mulus. Semua bersorak-sorai. Gembira campur rasa haru. Indonesia terselamatkan. Industri dirgantara Indonesia sontak menjadi sorotan dunia.


Hari gembira itu tinggal kenangan. Pernah dikagumi negeri tetangga, pabrik pesawat itu lama mati suri. Ada dua pesawat tersisa. N250 dan N250-100.  Diparkir di halaman kantor IPTN, yang kini berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Bandung Jawa Barat. 


***

Lama mati suri, perusahaan itu kini bernafas lagi.  Dua tahun belakangan dia berbenah. Revitalisasi. Restukturisasi. Meremajakan mesin. Merekrut insinyur. Kini perusahaan itu sedang mempersiapkan sebuah pesawat baru: N219.

N219. Inilah nyawa baru PT DI. Prototipe pesawat multi guna ini berkapasitas 19 penumpang. Mengelaborasi teknologi sistem pesawat paling modern. Dibangun dengan konstruksi logam pesawat. Kokoh.


Memang tidak secanggih N250. Bersahaja. Bahkan boleh dibilang sangat  sederhana. Direktur utama perusahaan itu, Budi Santoso, kepada VIVAnews menyebutkan, "Ini adalah yang termurah. Tapi, ada segmen pasarnya.” 


Selain untuk bisnis, pesawat ini adalah wahana belajar  para insinyur baru.  Agar mereka tahu bagaimana membuat pesawat dalam satu siklus. Dari nol sampai terbang.


Kendati sederhana, menurut Direktur Aerostruktur perusahaan itu,  Andi Alisyahbana, pesawat N219  asli 100 persen karya anak bangsa. "Ini penting karena sampai saat ini jarang sekali ada produk industri dan rekayasa yang benar-benar dirancang oleh anak bangsa," tuturnya kepada VIVAnews.


Pesawat ini, lanjutnya, bisa memaksa generasi yang hampir hilang. Generasi N250. Agar segera menurunkan ilmunya kepada generasi baru.


Inilah N219 Itu


N dalam nama itu adalah Nusantara. Menunjukkan bahwa desain, produksi, dan perhitungannya dikerjakan di Indonesia. Meski baru prototipe, pesawat ini akan segera disertifikasi CSAR (Certified Specialist in Asset Recovery) 23. Artinya, sudah teruji sebagai produk mekanik berdasarkan standar Amerikat Serikat dan Kanada.


Rancangan pesawat ini telah lulus uji aerodinamika. Ketika itu, PTDI menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai penguji. Jika sudah siap, pesawat ini akan diterbangkan ke daerah terpencil. Menjadi perintis.


Pesawat N219 merupakan pengembangan dari pesawat CASA C-212 Aviocar. Termasuk desain dan semua konstruksi logam. Volume kabin terbesar di kelasnya. Lengkap dengan sistem pintu fleksibel. Bisa memuat penumpang secara lebih efisien. Bisa menjadi alat transportasi kargo. 


Bobot bersih pesawat ini 4,7 ton. Telah memenuhi unsur pesawat kecil menurut  standar FAR 23. Bisa menjangkau jarak maksimal 1.111 kilometer. Kurang lebih sama dengan jarak terbang Jakarta ke Balikpapan.


Meski mungil, daya tampung pesawat ini terbilang besar. Hingga tujuh ton. Sayap sepanjang 19,5 meter mampu membuat logam sepanjang 16,5 meter dan tinggi 6,1 meter ini melayang-layang di ketinggian maksimal 10.000 kaki dari permukaan laut.


Berbeda dengan pesawat populer PTDI, CN235, yang dirancang untuk kebutuhan militer dan sipil, pesawat N219 sengaja didesain hanya untuk kebutuhan sipil. Jika CN235 bisa menampung 42 penumpang, N219 hanya 19 penumpang. Dengan begitu dia bisa dioperasikan pada daerah dengan kondisi alam ekstrim dan tingkat kesulitan yang tinggi. Seperti landasan tak beraspal di wilayah pegunungan. Di wilayah kepulauan.


Sejumlah teknologi unik telah diadopsi. Konstruksi badan dan sayap dari aluminium. Mesin off the shelf  yang banyak digunakan dalam dunia penerbangan. Sistem teknologi di dalamnya sudah modern. Reliable, dan mudah dalam perawatan.


"Teknologi Avionic N219 adalah teknologi termodern sekarang ini. Menggunakan Glass Cockpit dengan fitur synthetic vision untuk membantu pilot mendapatkan informasi navigasi yang akurat meskipun cuaca buruk,” kata Andi Alisjahbana. Sangat membantu ketika ingin terbang ke daerah terpencil.


N219 ini diharapkan bisa menggantikan pesawat Twin Otter. Sempat populer di era '70-'80an, pesawat jenis ini telah usang. Tidak diproduksi lagi, meski beberapa kerap ditemui di Indonesia.


Satu-satunya kelemahan pesawat ini, kata Andi, adalah urusan psikologis.  PTDI bukan lagi IPTN. Dia dan tim merasa perlu mempopulerkan nama dan reputasi PTDI di kalangan masyarakat luas.


Cerah atau Suram?


Sejatinya, rancangan pesawat ini sudah jauh. Sudah melewati Preliminary Design. Beberapa uji wind tunnel sudah dilakukan. Kini urusannya tinggal dana. Perusahaan itu memang tengah mengumpulkan uang untuk megaproyek ini.


Mestinya tak sulit. Sebab pasar terbuka lebar. Untuk 20 tahun ke depan kebutuhan pasar pesawat kelas 9-20 kursi di dunia diproyeksi mencapai 5.350 unit. Dari jumlah itu, kebutuhan di Asia Pasifik 549 unit. Itu sebabnya diperlukan komitmen jangka panjang. Jangan berpikir bikin hari ini, besok untung.


Program membangun pesawat bukanlah program tiga tahun. “Tetapi 20 tahun lebih hingga pesawat itu diproduksi,” kata Andi. Di negara mana pun, program pesawat terbang adalah usaha yang besar. Perlu dukungan pemerintah. Juga masyarakat.


Mewujudkan mimpi besar ini, PT DI tak bisa sendirian.  Instansi lain perlu terlibat. Seperti Kementerian Riset dan Teknologi untuk pengembangan. Kementerian Perindustrian untuk persiapan industri nasional pendukung. Serta Kementerian Perhubungan untuk sertifikasi dan operasi. 


“Integrasi semua instansi menjadi harga mati. Jika tidak, industri dirgantara akan tetap tertidur lelap,” kata Andi.  Dari segi teknis proyek ini sudah siap. Tinggal menunggu dana dari konsorsium kementerian. 


Dana yang diperlukan sekitar Rp600 miliar. PTDI sendiri telah membenam uang  Rp100 miliar untuk mendesain dan menyiapkan banyak hal. Perusahaan ini juga telah menyiapkan dana Rp100 miliar agar proyek terus menyala. 


Tapi para petinggi perusahaan itu masih hati-hati. Terutama dalam soal uang. Jika dana sudah dikucurkan, dan ternyata Konsorsium Kementerian tidak mendukung, maka tamatlah proyek ini. “Gagal seperti N-250," kata Budi Santoso.

Sumber : VIVANews.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...